Belajar Ilmu Syar'i dan Ilmu duniawi bersama Abuzahra

Ilmu Akhirat dan Dunia Haruslah Seimbang

HUKUM MENYAMBUT DAN BERGEMBIRA DENGAN HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR

Tinggalkan komentar

Oleh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
http://www.almanhaj.or.id/content/1708/slash/0

Sesungguhnya di antara konsekwensi terpenting dari sikap membenci
orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan
syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang
berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban
menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginada Rasul Shallallahu alaihi
wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan
di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
menanyakan kepadanya.

“Artinya : Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang
Jahiliyah yang disembah ?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya,
“Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka
?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu,
karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat
terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” [1]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di
bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah
; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya.
Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam
mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka
atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut
merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas)
kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar
mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya
mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan
sehubungan dengan hari raya mereka. Dan diantaranya lagi ialah
mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan
terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat
menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.:

Pertama.
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal
tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita
dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung
kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu
ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang
disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya
terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka
barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali
pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau
dia melakukannya.

Alasan Kedua.
Karena hal itu adalah bid’ah yang diada adakan. Alasan ini jelas
menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal
itu”.

Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabuh
(menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ;
seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan
kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak
halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang
yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan
anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga
tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu.

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya,
tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun
jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [2] maka
berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh.
Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada
perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang
yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan
syi’ar-syi’ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih kambing pada hari
raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih
babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti
negera-negara ‘ajam (non Islam)dan melakukan perayaan Nairuz [3] dan
Mihrajan [4] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia
belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari
Kiamat [5]

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi
Indonesia, Kitab Tauhid 1, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan, Penerbit Darul Haq]
________
FootNote
[1]. Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim
[2]. Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[3]. Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[4]. Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan
atau ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara
tidak panas dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta
yang diadakan untuk hari bahagia -pent.
[5].  Majmu Fatawa 25/329-330

MENYAMBUT DAN IKUT MERAYAKAN HARI RAYA ATAU PESTA ORANG-ORANG KAFIR SERTA BERBELA SUNGKAWA DALAM HARI DUKA MEREKA.

Oleh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
http://www.almanhaj.or.id/content/1709/slash/0

Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah (Pesta Pernikahan,-peny), Hari Bahagia Atau Hari Duka Mereka Dengan Hal-Hal Yang Mubah Serta Berta’ziyah Pada Musibah Mereka.

Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahniah) atau ucapan belangsungkawa ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’ dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “Semoga Allah memuliakannmu”. Kecuali jika berkata, ” Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahniah dengan perkara-perkara umum.

Tetapi jika tahni’ah itu dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya Natal” umpanya atau “Berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapakannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib ; bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau sebangsanya.

Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira’i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen, atau mufti ; demi untuk menghindari murka Allah dan laknat-Nya.[1]

Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahniah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerbit Darul Haq]
________
Foot Note
[1]. Ahkam Ahli Dzimmah, tahqiq Dr Subhi Shalih, 1/205-206

————————————

Penulis: kusnanto_abuzahra

Perkenalkan nama saya Kusnanto yang lahir pada tanggal 7 September 1978 di Bogor, dikaruniai dua orang anak perempuan yang sangat lucu2, Insya Allah Adik baru akan menyusul...Amin.

Tinggalkan komentar