Belajar Ilmu Syar'i dan Ilmu duniawi bersama Abuzahra

Ilmu Akhirat dan Dunia Haruslah Seimbang


Tinggalkan komentar

Hukum Operasi Caesar

Menelisik Hukum Operasi Caesar

 Oleh :Ust. Ahmad Sabiq

Melahirkan anak adalah salah satu fitrah kaum hawa. Mereka senantiasa berusaha untuk melahirkan anaknya secara normal, tanpa operasi. Oleh karena itu berbagai usaha dan antisipasi mereka lakukan agar bisa lahiran normal. Seperti olahraga jalan pagi, senam hamil, konsumsi makanan tertentu ataupun yang lainnya.

Namun, akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang melahirkan anak mereka melalui proses operasi dengan cara membedah perut mereka. Mereka melakukan hal itu karena alasan medis, seperti bayi kembar, panggul yang sempit, atau ukuran bayi yang terlalu besar. Kadang juga karena alasan sosial atau sekedar sebagai pelengkap saja, seperti jalan lahir bayi ingin tetap utuh sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki, seperti tanggal 11 bulan 11 tahun 2011 dan lain-lainnya.

PENGERTIAN OPERASI CAESAR

Dalam Wikipedia Indonesia, disebutkan bahwa Bedah sesar (caesarean section atau cesarean section), disebut juga dengan seksio sesarea (disingkat dengan sc) adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk mengeluarkan bayi. Bedah caesar umumnya dilakukan ketika proses persalinan normal melalui vagina tidak memungkinkan karena berisiko kepada komplikasi medis lainnya. Sebuah prosedur persalinan dengan pembedahan umumnya dilakukan oleh tim dokter yang beranggotakan spesialis kandungan, anak, anastesi serta bidan.

HUKUM OPERASI CAESAR [1]

Hukum operasi caesar dilihat dari sisi kepentingan wanita hamil atau janin dibagi menjadi dua:

Pertama: Dalam Keadaan Darurat

Yang dimaksud dalam keadaan darurat dalam operasi caesar adalah adanya kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, bayi atau kedua-duanya secara bersamaan. Berikut ini perinciannya:

1. Operasi Caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu. Misalnya untuk ibu yang mengalami eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim atau dinding rahim yang menipis akibat bedah Caesar atau operasi rahim sebelumnya.

2. Operasi Caesar untuk menyelamatkan jiwa bayi. Yaitu, jika sang ibu sudah meninggal dunia, tapi bayi yang berada di dalam perutnya masih hidup.

3. Operasi Caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi terlilit tali pusar sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang dan lain-lain.

Dalam tiga keadaan di atas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi Caesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak. Dalil-dalilnya sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah ta’ala

 وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS. al-Maidah [5]: 32)

Dalam ayat ini Allah memuji setiap orang yang memelihara kehidupan manusia, termasuk di dalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan melakukan pembedaan pada perut.

Imam Ibu Hazm rahimahullah berkata: “Jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka dilakukan pembedahan perutnya dengan memanjang untuk mengelurakan bayu tersebut, ini berdasar firman Allah ta’ala (QS. al-Maidah [5]: 32). Dan barangsiapa membiarkan bayi tersebut di dalam sampai mati, maka orang tersebut dikategorikan pembunuh”.[2]

Kedua: Kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi:

“Suatu bahaya itu harus dihilangkan”

Ketiga: Kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi:

“Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan kerusakannya”.

Keterangan di atas adalah bahwa operasi Caesar dalam keadaan darurat terdapat kerusakan. Yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu dan anak, sedangkan kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari kerusakan tersebut, yang paling ringan adalah dibedahnya perut ibu. Maka tindakan ini diambil untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.

Berkata Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah: “Dan dibolehkan melukai badan, seperti membedah perut, untuk mengobati penyakit. Jika mafsadahnya lebih banyak daripada manfaatnya, maka Allah mengharamkannya. Hal semacam ini telah disinggung oleh Allah di beberapa tempat dalam kitab-Nya, diantaranya adalah firman Allah ta’ala:

 يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah,”Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya (QS. al-Baqoroh (2): 219) [3]

Kedua: Bukan Dalam Keadaan Darurat

Operasi Caesar ini adalah adanya keinginan dari pasien atau yang mewakilinya untuk bisa mencapai sesuatu yang merupakan pelengkap di dalam kehidupannya, yang sebenarnya hal itu tidak mengancam jiwanya atau tidak menyebabkan bahaya jika tidak dilakukan operasi Caesar. Seperti halnya seorang istri yang melakukan operasi Caesar dengan harapan bisa membahagiakan suaminya, karena jalan lahir bayinya masih utuh sehingga organ kewanitaannya sama seperti belum melahirkan, hanya sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki atau tidak mau berlama-lama menjalani proses persalinan normal yang kadang membutuhkan waktu berjam-jam, atau hanya cuma ingin mgnhindari rasa sakit ketika melahirkan secara normal.

Operasi Caesar dalam kondisi ini haram. Sebab, tidak boleh bagi seseorang untuk berbuat sesuatu pada dirinya kecuali dengan apa yang telah diizinkan oleh syar’i

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Fadhilatus Syaikh, Allah berfirman, dalam QS. ‘Abasa ayat ke-20, bahwa Allah menjamin untuk memudahkan proses kelahiran ini. Dan banyak orang, baik laki-laki maupun wanita, yang terburu-buru melakukan operasi yang disebut Caesar, apakah hal ini disebabkan lemahnya tawakkal kepada Allah?”

Jawaban:

“Menurut pandanganku -semoga Allah memberkahimu-, cara ini yang banyak digunakan orang saat ini. Ketika seorang wania merasakan akan melahirkan, lalu pergi ke rumah sakit, kemudian dioperasi Caesar. Aku melihat bahwa ini adalah wahyu dari setan, dan bahanyanya lebih banyak daripada manfaatnya. Karena seorang wanita mau tidak mau akan mendapatkan rasa sakit ketika melahirkan normal, akan tetapi ternyata faedah yang terdapat dalam rasa sakit ini:

Faedah pertama: rasa sakit tersebut akan menggugurkan dosa-dosanya

Kedua: akan mengangkat derajatnya jika ia sabar dan mengharapkan pahala dari sisi Allah

Ketiga: seorang wanita akan menyadari kedudukan seorang ibu, yang manaseorang ibu merasakan sebagaimana yang ia rasakan.

Keempat: ia merasakan kedudukan nikmat Allah kepadanya yang berupa kesehatan.

Kelima: menambah rasa sayang dan rindunya kepada anaknya. Sebab, setiap kali si anak mengalami kesulitan, sang ibu akan lebih merasa kasihan dan merindukannya.

Keenam: anak atau bayi dalam kandungan ini keluar dari tempat keluar yang normal dan wajar, dalam hal ini ada kebaikan bagi si anak dan ibunya.

Ketujuh: ada madharat operasi Caesar yang akan dirasakan oleh wanita tersebut, karena operasi akan melemahkan usus, rahim dan yang selainnya, dan terkdang terjadi mal praktik, bisa jadi ia selamat dan bisa juga tidak.

Kedelapan: wanita yang pernah melakukan Caesar hampir-hampir tidak bisa kembali ke persalinan normal, karena tidak memungkinkan baginya. Dikhawatirkan juga akan merobek bagian yang pernah dioperasi.

Kesembilan: melakukan operasi Caesar akan membuat sedikit keturunan (anak), karena jika pernah di Caesar 3 kali dari berbagai sisi dan membuat lemah, maka kehamilan berikutnya bisa membahayakan.

Kesepuluh: cara ini adalah cara yang mewah. Dan kemewahan merupakan sebab kehancuran, hal ini sebagaimana firman Allah tentang golongan kiri di dalam QS. al-Waqiah [56]:45.

Maka yang wajib bagi seorang wanita adalah hendaknya bersabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah. Hendaknya pula ia tetap melahirkan dengan cara yang normal, karena itu lebih baik baginya dari sisi kesehatan dan finansial.

Dan bagi laki-laki, hendaknya mereka memperhatikan hal ini. Kita tidak tahu, bisa jadi musuh-musuh kita yang mengggampangkan operasi Caesar ini dengan tujuan agar kita kehilangan maslahat-maslahat dan mendapatkan kerugian-kerugian.”

Penanya bertanya: “Apa maksudnya ‘kemewahan’?”

Syaikh menjawab: “Mewah karena dengan cara itu akan mencegah rasa sakit dalam persalinan normal, dan ini adalah salah satu bentuk kemewahan. Dan kemewahan jika tidak dalam bentuk ketaatan kepada Allah, ia bisa menjadi tercela atau minimal hukumnya mubah”. [4]

Beliau juga berkata: “Pada kesempatan ini perlu saya sampaikan tentang sebuah fenomena yang disampaikan kepada kami, yaitu bahwa banyak para dokter di berbagai rumah sakit bersemangat agar proses kelahiran dilakukan dengan operasi Caesar. Sata khawatir ini adalaj salah satu tipu daya bagi kaum muslimin. Sebab, kalau sering dilakukan proses kelahiran dengan operasi Caesar, maka kulit perut wanita akan melemah dan wanita tidak akan kuat hamil lagi. Sungguh, ada sebagian dokter salah satu rumah sakit menceritakan kepadaku, bahwa banyak para wanita yang jika pergi ke berbagai rumah sakit selalu divonis dengan operasi Caesar, lalu mereka datang ke rumah sakit tersebut ternyata bisa lahiran normal. Orang yang menceritakan kepadaku tadi mengatakan, bahwa itu terjadi sampai 80 wanita hanya dalam waktu satu bulan! Kalau demikian berarti ini sangat berbahaya dan wajib untuk diperingatkan.

Hendaknya wanita juga mengetahui bahwa yang namanya melahirkan pasti merasakan sakit dan susah. Allah ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS. al-Ahqof [46]:15)

Maka tidak boleh bagi seorang wanita dengan sekedar merasakan sakitnya kontraksi melahirkan lalu pergi ke dokter untuk operasi, karena persalinan normal lebih baik daripada melahirkan secara Caesar”.[5]

Selain itu operasi Caesar mempunyai beberapa dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Dalam beberapa situs kesehatan disebutkan tentang risiko dan dampak negatif operasi Caesar, diantara yang mereka sebutkan:

Risiko Ibu Melahirkan Caesar:

  • Pendarahan hebat, pembekuan darah, gangguan usus besar, rasa sakit yang lebih lama, infeksi pada bekas luka bedah, dan sakit pada selangakangan
  • Lebih rentan terhadap penyakit stroke
  • Harus dirawat di rumah sakit lebih lama, dan kemungkinan besar ajab kembali masuk rumah sakit
  • Menimbulkan gangguan kesehatan mental seperti depresi. Ini antara lain karena tidak merasakan pengalaman proses melahirkan.
  • Tidak segera memiliki keharmonisan dan kontak batin dengan bayi, sehingga kemungkinan memiliki perasaan negatif terhadap anaknya lebih besar.
  • Penelitian membuktikan, lebih sedikit bayi lahir Caesar yang mendapat air susu ibu dibanding yang alami.
  • Menimbulkan masalah reproduksi seperti berkurangnya kesuburanm kehamilan diluar rahim, berbagai gangguan plasenta, dan kerusakan rahim.

Dam terkadang, berbagai efek samping ini masih dirasakan seorang wanita pasca Caesar meskipun sudah bertahun-tahun.

Risiko Bayi Lahir Caesar:

  • Terluka ketika proses Caesar, meski kemungkinannya kecil
  • Kesulitan bernapas selama proses Caesar.
  • Terkena asma pada masa anak atau dewasa
  • Kerusakan saraf
  • Kerusakan otak dan sumsum tulang belakang

wallahua’lam

Footnote:

[1] Saya cuplikkan dengan berbagai gubahan dari tulisan Dr. Ahmad Zain an-Najah MA, dengan berbagau tambahan dari referensi lainnya.

[2] Al-Muhalla 5/166

[3] Al-Buhuts al’Ilmiyyah, Hai’ah Kibar Ulama 2/72

[4] Liqa’ Babil Maftuh kaset no. 86, pertanyaan no.17

[5] Liqa’ Babil Maftuh kaset no. 2, pertanyaan no.42

sumber: majalah al-Mawaddah Vo. 47, Desember 2011-Januari 2012

Artikel http://maramissetiawan.wordpress.com


Tinggalkan komentar

PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT, BENARKAH??!!

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf

 

I. PENGANTAR

“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca hadits ini.  Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.

Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Amiin.

B. TEKS HADITS

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perselisihan umatku adalah rahmat.

  • TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim.
  • Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]
  • Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]
  • Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!
  • Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:

“Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”.[5]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:

“Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!

Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an (yang artinya):

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!

  • Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Anfal: 46)

Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan,  tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]

D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.

(QS. Hud: 118-119)

Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:

  • Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“.  Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan  ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan  zaman sekarang.[8]
  • Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

E. MEMAHAMI PERSELISIHAN

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:

  1. Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
  2. Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
  3. Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].
  • Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا

إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

  1. Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
  2. Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
  3. Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[15].

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.

  • Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[16]
  • Imam Syafi’I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:

Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. An-Nisa’: 59)

F. Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- ‘Utsaimin

  • “Termasuk  di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.
  • Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap perselisihannya”.[18]

.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

http://www.abiubaidah.com

.

CATATAN KAKI:


[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya: “Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).

 

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57

[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.

[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.

[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)

[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah Al-Ha’iyah hlm. 193).

[7] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.

[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.

[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.

[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[12] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.

[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[14] Ar-Risalah hlm. 259.

[15] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.

[16] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.

[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.