Belajar Ilmu Syar'i dan Ilmu duniawi bersama Abuzahra

Ilmu Akhirat dan Dunia Haruslah Seimbang


Tinggalkan komentar

Tayammum

Abu Ubaidah Al-Atsari

1 Definisi Tayammum

Secara bahasa, tayammum diambil dari kata (tayammama) bermakna  (qashada) yang artinya menuju, memaksudkan, menyengaja. Sedangkan secara syara’ adalah mempergunakan sho’id (sesuatu di permukaan bumi) dan mengusapkan ke wajah dan kedua telapak tangan dengan niat untuk sholat. 1

2 Dalil-dalil Disyari’atkannya Tayammum

Tayammum disyari’atkan dalam Islam menurut Al-Qur’an, hadits dan ijma’. Dalil Qur’an Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih): sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya

kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah: 6).

Dalil Hadits

Dari Abu Dzar bahwasanya Rasululloh bersabda, Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun. 2

Dalil Ijma’

Para ulama’ telah bersepakat tentang disyari’atkannya tayammum sebagaimana dinukil oleh Imam Abu Muhammad bin Hazm 3 dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

3 Keistimewaan Tayammum

Tayammum merupakan kekhususan yang diberikan Alloh kepada umat Islam berdasarkan hadits,

Dari Jabir bahwasanya Rasululloh bersabda, Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku

1. Aku ditolong dengan rasa takut (yang muncul di hati musuh) sebulan perjalanan,

2. Dijadikan untuk diriku tanah sebagai masjid dan alat suci, maka siapapun orang dari umatku yang menjumpai waktu shalat, hendaklah sholat,

3. Dihalalkan bagiku ghonimah (harta rampasan perang) yang tidak dihalalkan bagi seorang (nabi) pun sebelumku,

4. Aku diberi syafa’at,

5. dan seorang nabi (sebelumku) hanya diutus kepada kaumnya saja, tetapi aku diutus kepada seluruh manusia.

4 Hal-hal Yang Membolehkan Tayammum

Tayammum tidak digunakan dalam setiap waktu, namun hanya dalam keadaankeadaan tertentu sebagai berikut:

1. Ketika tidak ada air, baik dalam keadaan safar maupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

Dari ‘Imron bin Hushoin berkata, Kami pernah bersama Rasululloh dalam satu safar lalu beliau sholat mengimani manusia, tiba-tiba ada seseorang yang menyendiri. Melihatnya, beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak ikut sholat?” Jawabnya, “Saya jinabat sedangkan tidak ada air.” Rasululloh bersabda, “Hendaknya engkau (bertayammum) dengan tanah, karena itu mencukupimu. 6

2. Ketika menderita luka atau penyakit. Sakit atau luka yang dimaksud di sini yaitu penyakit atau luka yang dikhawatirkan akan bertambah parah atau tertunda sembuhnya jika terkena air. Baik berdasarkan pengalaman ataupun pemberitahuan dari dokter terpercaya. Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir ia berkata, Kami pernah mengadakan safar, ada seorang sahabat kami yang tertimpa batu hingga terluka kepalanya, lalu dia mimpi basah dan bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian memandang ada rukhshoh (keringanan) padaku untuk bertayammum?” Mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak mendapatkan keringanan selagi engkau mampu menggunakan air.” Diapun mandi lalu meninggal dunia. Tatkala kami datang kepada Rasululloh, beliau dikhabarkan dengan peristiwa tadi kemudian beliau bersabda, Mereka telah membunuhnya, maka Alloh akan mematikan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya

bila tidak mengetahuinya? Karena obat kejahilan adalah bertanya. 7

Perlu diketahui bersama bahwa dalam hadits ini ada tambahan yang mungkar, yaitu: Sesungguhnya dia hanya cukup untuk bertayammum. Dan hendaknya dia membalut lukanya dengan kain lalu mengusap bagian atasnya dan membasuh seluruh badannya. Syaikh Syaraful Haq berkata dalam Aunul Ma’bud (1/367 – 368): Riwayat penyatuan antara tayammum dengan mandi tidaklah diriwayatkan kecuali oleh Zubair bin Khuraiq. Rowi ini disamping memang tidak kuat haditsnya, dia juga telah menyelisihi seluruh para perrowi yang meriwayatkan dari Atho’ bin Abi Robah. Maka riwayat penyatuan antara tayammum dan mandi adalah riwayat yang lemah, tidak dapat dijadikan hukum.8

Perhatikanlah masalah ini karena ada hubungannya dengan masalah berikutnya.

3. Apabila air sangat dingin sekali dan dikhawatirkan membahayakan dirinya serta tidak mempu memanaskannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amr bin ‘Ash, ia berkata, Aku pernah mimpi basah pada suatu malam yang sangat dingin

sekali dalam perang Dzat Salasil. Saya khawatir bila saya mandi, saya akan mati karenanya. Maka saya tayammum dan shalat Subuh bersama para sahabat. Tatkala datang kepada Rasululloh, para sahabat menceritakan

kejadianku. Nabi bersabda,

“Wahai ‘Amr, benarkah engkau shalat bersama para sahabatmu padahal engkau junub?” Maka saya kabarkan kepada beliau sesuatu yang menghalangiku untuk mandi dan saya berkata, “Aku mendengar _rman Alloh, Janganlah engkau membunuh diri kalian, sesungguhnya Alloh Maha Penyayang kepada kalian. Sebab itulah saya tayammum kemudian shalat. Rasululloh tertawa dan tidak mengatakan sedikitpun. 9

5 Tayammum Harus Dengan Debu?

Dalam Al-Qur’an, Alloh menyebutkan dengan lafadz “Ash-Sho’id” artinya adalah tanah dan segala yang ada di permukaan bumi sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahasa. Al Fairuz Abadi berkata dalam Al-Qomus Muhith (1/318), “Ash-Sho’id” adalah tanah dan segala yang ada di permukaan bumi. Dalam kamus Mukhtar Shihah hal. 363 dinyatakan “Ash-Sho’id” adalah tanah. Tsa’lab berkata, “Segala yang ada di permukaan bumi.” Ibnu Mandzur dalam Lisan Arob (3/254) menjelaskan, “Ash-Sho’id” artinya tanah, dikatakan juga tanah yang bersih. Dalam Al-Qur’an dinyatakan, Maka bertayammumlah dengan Sho’id yang baik (bersih). Abu Ishaq berkata, “Ash-Sho’id” adalah permukaan bumi, manusia boleh bertayammum dengan permukaan bumi baik berdebu maupun tidak berdebu. Sebab maksud Ash-Sho’id bukan hanya debu, tetapi segala yang ada di permukaan bumi baik tanah maupun selainnya. Beliau juga mengatakan,

Seandainya ada sebuah batu yang tidak berdebu lalu seseorang bertayammum dengan batu tersebut, ini sudah mencukupi. Kesimpulannya, alat tayammum tidaklah disyaratkan harus tanah/debu sekalipun tanah/debu itu lebih baik untuk digunakan. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik, dipilih oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (2/158 – 161) serta disetujui Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustathob (1/31).

6 Bertayammum Dengan Dinding

Diperbolehkan bagi seorang untuk bertayammum dengan tembok atau dinding, baik terbuat dari beton maupun kayu, dicat maupun tidak. Demikian ditegaskan Syaikh Al-Albani secara lisan sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Abdul Adhim Al-Badawi 10 kemudian beliau (Al-Albani) membacakan ayat Alloh: Dan tidaklah Rabbmu lupa. (QS. Maryam: 64). Hal ini berdasarkan keumuman hadits dari ‘Umair, maula Ibnu Abbas, ia berkata, Saya dan Abdulloh bin Yasar -pembantu Maimunah, istri Nabipernah menemui Abu Juhaim bin Harits bin Shimmah Al-Anshori. Abu Juhaim bercerita, Nabi kembali dari Bi’r Jamal 11 lalu seseorang bertemudengan beliau seraya mengucapkan salam. Nabi tidak menjawabnya  hingga beliau menemukan tembok dan mengusap wajah dan tangannya kemudian menjawab salam orang tadi. 12 Perlu dicatat bahwasanya Rasululloh enggan untuk berdzikir atau pun sekedar menjawab salam dalam keadaan tidak suci.

7 Tata Cara Tayammum

Tata cara tayammum secara gamblang dijelaskan dalam hadits Ammar sebagai berikut: Dari Abdurrahman bin Abza ia berkata, Telah datang seorang laki-laki kepada Umar bin Khoththob seraya berkata, “Saya junub sedangkan saya tidak mendapati air.” Ammar (bin Yasir) berkata kepada Umar bin Khaththab, Ingatkah engkau ketika kita dahulu pernah dalam suatu safar, engkau tidak sholat sedangkan aku menggulingguling badanku dengan tanah lalu aku sholat? Setelah itu, kuceritakan kepada Nabi kemudian beliau bersabda, “Cukuplah bagimu seperti ini.” Nabi menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah lalu meniupnya dan mengusapkan ke wajah dan telapak tangannya. 13 Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz, Tayammum itu satu tepukan, untuk wajah dan kedua telapak tangan. 14 Hadits di atas memberikan penjelasan kepada kita tentang beberapa perkara:

1. Bolehnya tayammum bagi orang junub. Imam Al-Baghawi mengatakan dalam Syarh Sunnah (1/109-110), Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah. Salah satunya, bolehnya tayammum bagi orang junub apabila tidak menjumpai air. Ini merupakan pendapat mayoritaas ahli ilmu. Demikian

pula wanita haidh dan nifas apabila telah suci (yang sebenarnya harus mandi) tetapi tidak menjumpai air, hendaknya bertayammum … 15

2. Anggota tayammum hanya wajah dan telapak tangan. Inilah pendapat yang benar. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa tayammum sampai ke siku atau ketiak seluruhnya tidak ada yang shohih sebagaimana dijelaskan dengan bagus oleh Al-Ha_dz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/590-891). Lanjut beliau, Di antara hal yang memperkuat riwayat Bukhari Muslim yang hanya mencukupkan wajah dan telapak tangan saja adalah fatwa Ammar bin Yasir sepeninggal Nabi bahwa anggota tayammum adalah wajah dan telapak tangan.

Tidak diragukan lagi, rowi hadits lebih mengerti tentang makna hadits daripada orang selainnya, lebih-lebih seorang sahabat mujtahid (seperti Ammar bin Yasir). 16

3. Tayammum hanyalah sekali tepukan saja. Tidak boleh lebih lantaran seluruh hadits yang menjelaskan bahwa tayammum dua atau tiga tepukan seluruhnya tidak ada yang shohih. Syaikh Al-Albani berkata, Ketahuilah bahwa dalam sebagian lafadz hadits Ammar terdapat lafadz “dua tepukan” sebagaimana juga terdapat lafadz “siku” pada sebagian riwayat. Semua ini tidak shahih.

Dalam kitabnya At-Talkhis hal. 65, Al-Ha_dz mengatakan, Berkata Ibnu Abdil Barr, Kebanyakan riwayat hadits yang shahih dari Ammar adalah dengan lafadz “satu tepukan” adapun riwayat yang menyebutkan dengan lafadz “dua tepukan”

seluruhnya mudhthorib (goncang -riwayatnya -red. vbaitullah). 17 Pendapat satu tepukan ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sebagaimana dinukil Ibnu Mundzir dan beliau memilihnya. 18

4. Sunnahnya meniup kedua telapak tangan. Bukhari membuat bab hadits di atas dengan bentuk pertanyaan, “Bab: Apakah seorang bertayammum meniup kedua tangannya?” Adapun Ibnu Huzaimah, beliau membuat bab dalam shahih-nya (1/135) dengan tegas “Bab meniup kedua tangan setelah mengusapkannya dengan tanah untuk tayammum.” Imam Ahmad berkata,

Tidak apa-apa seseorang mengajarkan atau meninggalkannya sekalipun debunya hanya sedikit. 19

Ash-Shon’ani juga berpendapat sunnah dalam Subulus Salam (1/197). Dalam kitabnya Al-Muhalla (1/368), Imam Ibnu Hazm cenderung menguatkan pendapat ini (sunnah).

5. Apakah disyaratkan tertib dalam tayammum? Tertib dalam tayammum tidaklah disyaratkan. Karenanya, maka boleh bagi seseorang untuk mendahulukan wajahnya dulu atau mendahulukan telapak tangannya terlebih dahulu. Inilah madzhab imam Malik dan disetujui oleh Al-Ha_dz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/606 dan Ash-Shon’ani dalam Subulus Salam 1/196. 20 Sekalipun mendahulukan wajah lebih utama sebagaimana Alloh mendahulukannya dalam Al-Qur’an.

8 Tayammum Gantinya Wudhu’

Tayammum adalah gantinya wudhu’. Hal itu mengandung konsekuensi bahwa

hukum asal tayammum menduduki kedudukan wudhu’. Karenanya, seseorang yang hendak bertayammum diperbolehkan bertayammum sebelum masuk waktu sholat ataupun sesudahnya, untuk melaksanakan sholat fardhu maupun sunnah, untuk menjadi imam maupun makmum sebagaimana halnya dia berwudhu’.

Hasan Al-Basri berkata, Tayammum berkedudukan seperti wudhu’, apabila anda bertayammum dari anda seperti wudhu’ hingga berhadats. 21 Ibnu Abbas pernah menjadi imam sedangkan beliau (hanya) bertayammum. 22 Demikian pula taqrir (persetujuan) Nabi kepada sahabat ‘Amr bin Ash yang sholat bersama para sahabat dengan tayammum sebagaimana hadits di atas tadi. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah yang dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Author 1/252.

9 Pembatal Tayammum

Pembatal tayammum sama halnya dengan pembatal wudhu’ seperti hadats besar maupun kecil, tidur nyenyak, menyentuh farji dan sebagainya. Demikian pula adanya air bagi orang yang bertayammum karena tidak ada air, serta kemampuan menggunakan air bagi yang bertayammum karena tidak menggunakan air seperti sakit, luka dan lain sebagainya. Adapun sholat yang telah ditunaikan tetap sah dan tidak perlu diulang lagi. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri dia berkata, Ada dua orang laki-laki keluar dalam suatu safar (perjalanan). Kemudian tiba waktu sholat sedang tidak ada air bersama keduanya. Lalu keduanya bertayammum dengan tanah yang suci sekligus sholat.

Tak lama kemudian, keduanya menjumpai air, maka seorang mengulangi wudhu’ dan sholatnya, sedangkan seorang lainnya tidak mengulangi. Keduanya kemudian datang kepada Rasululloh serta menceritakan halnya, lantas sabda Nabi kepada yang tidak mengulangi sholat, “Engkau telah mencocoki sunnah dan sholatmu sudah cukup.” Sedangkan sabda beliau kepada yang mengulangi sholat, “Engkau mendapatkan dua pahala.” 23

10 Tayammum Bagi Orang Terluka

Apabila seseorang mempunyai balutan luka maupun patah dan sebagainya, maka tidak ada kewajiban untuk mengusapnya baik dalam wudhu’ maupun tayammum. Dalilnya adalah _rman Alloh: Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286). Dan juga sabda Nabi, Apabila aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu

kalian. 24 Kesimpulannya, tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an dan Sunnah untuk mengusap balutan luka atau obat. Dengan demikian, maka gugurlah perkatan ini. 25

11 Bolehkah Menggauli Istri Ketika Tidak Ada Air?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tetapi pendapat yang kuat adalah boleh dan tidak dibenci. Dalilnya boleh adalah sebagai berikut: Perkataan Abu Dzar Al-Ghifari, Saya tidak mendapatkan air dan keluarga saya (istri) bersamaku. Ketika aku jinabat aku sholat tanpa bersuci. Mengetahui hal itu, Nabi bersabda, “Tanah yang bersih merupakan alat bersuci.” 26 Pendapat boleh ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Jabir bin Zaid, Hasan Al-Basri, Qotadah, Tsauri, Auza’i, Ahmad, Ishaq bin Rohawaih, Abu Hanifah, Sya_’i dan mayoritas ahli hadits. Dipilih oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Hazm. 27 Imam Nawawi berkata, Para sahabat kami telah bersepakat tentang bolehnya tanpa ada sedikitpun kebencian. 28

1Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 21/347 dan Fathul Bari 1/574.

2HR. Nasa’i (321), Tirmidzi (124), Abu Dawud (332), Ahmad (5/160). Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”   Dan dishahihkan Ibnu Hibban, Daruqutni, Abu Hatim, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Nawawi sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil (153) karya Al-Albani.

3dalam kitabnya Marotibul Ijma’ hal. 18

4dalam Majmu’ Fatawa 21/350.

5HR. Bukhari no. 335; Muslim no. 521.

6HR. Bukhori (348), Nasa’i (320), Darimi (749), Ahmad (4/434-435), Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (271) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (122 – Ghoutsul Makdud-).

7HR. Abu Dawud (336), Ibnu Majah (572), Daruqutni dalam sunan-nya (1/189). Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamarul Mustathob.

8Lihat pula Tamamul Minnah karya Syaikh Al-Albani hal. 131 – 132.

9HR. Abu Dawud (334), Ahmad (4/203), Daruqutni dalam sunan-nya (1/178), Ibnu Hibban (202), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (647), Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq dan dikuatkan Al-Ha_dz dalam Fathul Bari 1/603 dan Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 154.

10dalam kitabnya Al-Wajiz _ Fiqh Sunnah hal. 51.

11Bi’r Jamal Sebuah kota terkenal dekat kota Madinah.

12HR. Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369.

13HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368.

14HR. Abu Dawud (327), Ahmad (4/263), Tirmidzi (144), Darimi (751), Ibnu Huzaimah dalam shahih-nya (266, 267) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (126). Dan dishahihkan oleh Imam Darimi dalam sunan-nya dan Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 161.

15Periksa pula Al-Majmu’ (2/239-240) karya Nawawi dan Nailul Author (1/248) karya Syaukani.

16Lihat pula At-Talkhis Habir (1/237-239) karya Ibnu Hajar dan Nasbu Royah (1/150) karya Az-Zaila’i.

17Lihat Irwa’ul Ghalil (1/185-186).

18Lihat pula Sailul Jaror 1/133 karya Syaukani dan Tuhfatul Ahwadzi 1/374-384 karya Al-Mubarokfuri.

19Lihat Al-Mughni 1/324 Ibnu Qudamah.

20Lihat pula Al-Munakholah Nuniyyah hal. 28 oleh Syaikh Murod Syukri.

21HR. Said bin Manshur sebagaimana dalam Fathul Bari 1/593.

22HR. Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi secara bersambung dengan sanad shahih sebagaimana kata Al-Ha_dz Ibnu Hajar.

23HR. Abu Dawud (338), Nasai (431), Darimi (750), Al-Hakim dalam mustadrok (651) dan berkata, “Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim.” Ibnu Sakan juga meriwayatkan secara maushul (bersambung) dalam shahih-nya sebagaimana disebutkan Al-Ha_dz Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/244.

24HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 369.

25Lihat Al-Muhalla 2/74 karya Imam Ibnu Hazm.

26HR. Ahmad (5/146-147), Abu Dawud (333). Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (1/99- 100) karya Al-Albani.

27Lihat Al-Mughni 1/354 karya Ibnu Qudamah, Al-Muhalla 1/365 karya Ibnu Hazm.

28Al-Majmu’ 2/241.

Disalin dari majalah Al-Furqon Edisi 2 Th. II 1423H hal 21 – 24. 1Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 21/347 dan Fathul Bari 1/574.

Didownload dari http://www.vbaitullah.or.id


Tinggalkan komentar

Cara Mandi Junub Yang Benar


Mandi junub itu ialah mandi yang diwajibkan oleh agama Islam atas orang-orang mukalaf dari kalangan pria maupun wanita untuk membersihkan diri dari hadats besar. Dan menurut aturan Syari’at Islamiyah, mandi junub itu dinamakan mandi wajib dengan mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh. Mandi junub ini adalah termasuk dari perkara syarat sahnya shalat kita, sehingga bila kita tidak mengerjakannya dengan cara yang benar maka mandi junub kita itu tidak dianggap sah sehingga kita masih belum lepas dari hadats besar. Akibatnya shalat kita dianggap tidak sah bila kita menunaikannya dalam keadaan belum bersih dari hadats besar dan kecil. Sedangkan mandi junub yang benar itu ialah mandi junub yang dilakukan dengan mengamalkan car-cara mandi junub yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

Beberapa keadaan yang diwajibkan untuk mandi junub :

Ada beberapa keadaan yang menyebabkan dia dianggap dalam keadaan berhadat besar sehingga diwajibkan dia untuk melepaskan diri darinya dengan mandi junub. Beberapa keadaan itu adalah sebagai berikut :

1. Keluarnya mani, apakah karena syahwat atau karena sebab yang lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut :

(tulis haditsnya di Syarah Shahih Muslim An Nawawi juz 4 hal. 30 hadits ke 81)

Dari Abi Sa’id Al Khudri dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, bahwa beliau bersabda : “Hanyalah air itu (yakni mandi) adalah karena air pula (yakni karena keluar air mani”. HR. Muslim dalam Shahihnya.

Dalam menerangkan hadits ini Al Imam Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An Nawawi menyatakan : “Dan Ma’nanya ialah : Tidak wajib mandi dengan air, kecuali bila telah keluarnya air yang kental, yaitu mani”.

2. Berhubungan seks, baik keluar mani atau tidak keluar mani. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut :

(tulis haditsnya di Fathul Bari Ibni Hajar jilid 1 hal. 395 hadits ke 291)

Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi sallallahu alaihi waalihi wasallam, bahwa beliau bersabda : “Apabila seorang pria telah duduk diantara empat bagian tubuh permpuan (yakni berhubungan seks) kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (yakni memasukkan kemaluannya pada kemaluan perempuan itu), maka sungguh dia telah wajib mandi karenanya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya.

3. Berhentinya haid dan nifas (Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam rubrik kewanitaan).

4. Mati dalam keadaan Muslim, maka yang hidup wajib memandikannya. (Masalah ini akan dibahas insyaallah dalam topik pembahasan “cara memandikan jenazah”).

Cara menunaikan mandi junub :

Karena menunaikan mandi junub itu adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala, maka disamping harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, juga harus pula dilaksanakan dengan cara dituntunkan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dalam hal ini terdapat beberapa riwayat yang memberitakan beberapa cara mandi junub tersebut. Riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut :

1. (tulis hadisnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 1 hal. 63 hadits ke 249)

“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah bersabda : Barangsiapa yang meningggalkan bagian tubuh yang harus dialiri air dalam mandi janabat walaupun satu rambut untuk tidak dibasuh dengan air mandi itu, maka akan diperlakukan kepadadanya demikian dan demikian dari api neraka”. HR. Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 249 dan Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 599. Dan Ibnu Hajar Al Asqalani menshahihkan hadits ini dalam Talkhishul Habir jilid 1 halaman 249.

Dengan demikian kita harus meratakan air ketika mandi janabat ke seluruh tubuh dengan penuh kehati-hatian sehingga dilakukan penyiraman air ketubuh kita itu berkalai-kali dan rata.

2. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 429 hadits ke 248)

“Dari A’isyah radhiyallahu anha beliau menyatakan : Kebiasaannya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam apabila mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian beliau berwudhu’ seperti wudhu’ beliau untuk shalat, kemudian beliau memasukkan jari jemari beliau kedalam air, sehingga beliau menyilang-nyilang dengan jari jemari itu rambut beliau, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh tubuh beliau”. HR. Al Bukhari dalam Shahihnya hadits nomer 248 (Fathul Bari) dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 316. Dalam riwayat Muslim ada tambahan lafadl berbunyi demikian : “Kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua telapak kakinya”.

Jadi dalam mandi junubnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, beliau memasukkan air ke sela-sela rambut beliau dengan jari-jemari beliau. Ini adalah untuk memastikan ratanya air mandi junub itu sampai ke kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di atasnya. Sehingga air mandi junub itu benar-benar mengalir ke seluruh kulit tubuh.

3. (tulis haditsnya di Shahih Muslim Syarh An Nawawi juz 3 hal 556 hadits ke 317)

“Maimunah Ummul Mu’minin menceritakan : Aku dekatkan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam air mandi beliau untuk janabat. Maka beliau mencuci kedua telapak tangan beliau dua kali atau tiga kali, kemudian beliau memasukkan kedua tangan beliau ke dalam bejana air itu, kemudian beliau mengambil air dari padanya dengan kedua telapak tangan itu untuk kemaluannya dan beliau mencucinya dengan telapak tangan kiri beliau, kemudian setelah itu beliau memukulkan telapak tangan beliau yang kiri itu ke lantai dan menggosoknya dengan lantai itu dengan sekeras-kerasnya. Kemudian setelah itu beliau berwudlu’ dengan cara wudlu’ yang dilakukan untuk shalat. Setelah itu beliau menuangkan air ke atas kepalanya tiga kali tuangan dengan sepenuh telapak tangannya. Kemudian beliau membasuh seluruh bagian tubuhnya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya sehingga beliau mencuci kedua telapak kakinya, kemudian aku bawakan kepada beliau kain handuk, namun beliau menolaknya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 317 dari Ibnu Abbas.

Dari hadits ini, menunjukkan bahwa setelah membasuh kedua telapak tangan sebagai permulaan amalan mandi junub, maka membasuh kemaluan sampai bersih dengan telapak tangan sebelah kiri dan setelah itu telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai dan baru mulai berwudhu’. Juga dalam riwayat ini ditunjukkan bahwa setelah mandi junub itu, sunnahnya tidak mengeringkan badan dengan kain handuk.

4. (tulis haditsnya di Fathul Bari jilid 1 halaman 372 hadits ke 260)

“Dari Maimun (istri Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam), beliau memberitakan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ketika mandi janabat, beliau mencuci kemaluannya dengan tangannya, kemudian tangannya itu digosokkan ke tembok, kemudian setelah itu beliau mencuci tangannya itu, kemudian beliau berwudlu’ seperti cara wudlu’ beliau untuk shalat. Maka ketika beliau telah selesai dari mandinya, beliau membasuk kedua telapak kakinya”. HR. Bukhari dalam Shahihnya, hadits ke 260.

Dari hadits ini, menunjukkan bahwa menggosokkan telapak tangan kiri setelah mencuci kemaluan dengannya, bisa juga menggosokkannya ke tembok dan tidak harus ke lantai. Juga dalam hadits ini diterangkan bahwa setelah menggosokkan tangan ke tembok itu, tangan tersebut dicuci, baru kemudian berwudlu’.

Penutup Dan Kesimpulan :

Dari berbagai riwayat tersebut di atas kita dapat simpulkan, bahwa cara mandi junub itu adalah sebagai berikut :

1. Mandi junub harus diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala dalam rangka menta’atiNya dan beribadah kepadaNya semata.

2. Dalam mandi junub, harus dipastikan bahwa air telah mengenai seluruh tubuh sampaipun kulit yang ada di balik rambut yang tumbuh di manapun di seluruh tubuh kita. Karena itu siraman air itu harus pula dibantu dingan jari jemari tangan yang mengantarkan air itu ke bagian tubuh yang paling tersembunyi sekalipun.

3. Mandi junub dimulai dengan membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan, masing-masing tiga kali dan cara membasuhnya dengan mengguyur kedua telapak tangan itu dengan air yang diambil dengan gayung. Dan bukannya dengan mencelupkan kedua telapak tangan itu ke bak air.

4. Setelah itu mengambil air dengan telapak tangan untuk mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri sehingga bersih.

5. Kemudian telapak tangan kiri itu digosokkan ke lantai atau ke tembok sebanyak tiga kali. Dan setelah itu dibasuh dengan air.

6. Setelah itu berwudlu’ sebagaimana cara berwudlu’ untuk shalat.

7. Kemudian mengguyurkan air dari kepala ke seluruh tubuh dan menyilang-nyilangkan air dengan jari tangan ke sela-sela rambut kepala dan rambut jenggot dan kumis serta rambut mana saja di tubuh kita sehingga air itu rata mengenai seluruh tubuh.

8. Kemudian bila diyakini bahwa air telah mengenai seluruh tubuh, maka mandi itu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki.

9. Disunnahkan untuk tidak mengeringkan badan dengan kain handuk atau kain apa saja untuk mengeringkan badan itu.

10. Disunnahkan untuk melaksanakan mandi junub itu dengan tertib seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

Demikianlah cara mandi junub yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan juga telah dicontohkan oleh beliau. Semoga dengan kita menunaikan ilmu ini, amalan ibadah shalat kita akan diterima oleh Allah Ta’aala karena kita telah suci dari junub atau hadats besar. Amin Ya Mujibas sa’ilin.1. Tentang pengertian orang yang mukalaf , artinya orang yang telah baligh dari sisi usianya dan telah mumayyiz dari sisi kemampuan berfikirnya. Mumayyiz itu sendiri artinya ialah kemampuan membedakan mana yang bermanfaat baginya dan mana pula yang bermudarat.

2. Tentang pengertian hadatas besar , telah diterangkan dalam Salafi ed. 1 th. V hal. ?

3. Ar Raudhatun Nadiyah, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 35.

4. Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An Nawawi, jilid 2 hal. 153, Darul Fiker Beirut Libanon, cet. Th. 1417 H / 1996 M.

Disalin dari: http://alghuroba.org/junub.php