Belajar Ilmu Syar'i dan Ilmu duniawi bersama Abuzahra

Ilmu Akhirat dan Dunia Haruslah Seimbang


3 Komentar

Isbal

ISBAL DENGAN TIDAK SOMBONG?? (Menurunkan Pakaian di Bawah Mata Kaki)

Oleh : Abu Salma al-Atsary

Wahai
hamba Allah sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
menganugerahkan segala kenikmatan pada kita, diantara kenikmatan yang

isbal = no , no isbal = yes

dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita adalah pakaian yang
dengannya manusia terbedakan dengan makhluk Allah yang lainnya. Hewan,
tumbuhan, dan makhluk lainnya, tidakkah mereka itu dalam keadaan
telanjang secara dhahir/fisiknya? Maka oleh karena itulah Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat manusia, dengan akal dan hati
yang dianugerahkan-Nya, dan rasa malu yang menghias manusia menjadi
indah.

Sebagaimana dalam firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al-A’raf ayat 26 :

يَا
بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ
وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Wahai anak Adam,
sesungguhnya kami telah menganugerahkan kepada kalian pakaian untuk
menutupi aurat kalian dan pakaian yang indah sebagai perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian inilah sebagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Tatkala
Allah telah menganugerahkan pakaian yang dengannya manusia menutupi
aurat-aurat mereka, membalut tubuh-tubuh mereka dan memperindah
bentuknya, Allah memperingatkan bahwasanya ada pakaian yang lebih bagus
dan lebih banyak faidahnya, yaitu pakaian takwa, yang mana pakaian
takwa ini menghiasi dirinya dengan berbagai macam keutamaan-keutamaan,
yang mensucikannya dari berbagai kotoran, dan pakaian takwa itulah
tujuan yang diinginkan, yang mana barangsiapa yang tak memakai pakaian
takwa, tiadalah manfaat baginya pakaian yang melekat di tubuhnya.
Berkata seorang penyair :

Bila seseorang tidak memakai pakaian takwa
Berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian.

Seharusnya
pakaian takwa terus melekat pada diri seorang hamba, dan senantiasa
menjaganya agar tidak lusuh dan hancur, yakni pakaian yang memperindah
hati dan jiwa. Dimana pakaian tubuh hanya menutup aurat yang dhahir di
suatu waktu saja, yang kemudian keduanya akan rusak.

Wahai
hamba Allah, pakaian adalah termasuk nikmat Allah yang besar, yang
menghiasi manusia dan menutup aurat-aurat mereka,ia merupakan
tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Dalam
berpakaian, islam juga menaruh perhatian yang besar padanya, karena
islam adalah agama yang sempurna, manakah ada dari permasalahan yang
tak dicakup oleh islam?, mulai dari istinja’, makan, berpakaian, bahkan
berpolitik sekalipun, Islam mengaturnya.

Pakaian
memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan.
Pria memiliki pakaian khusus dalam bentuk dan jenis, demikian pula
wanita. Tidaklah keduanya yakni lelaki dan wanita itu dapat dibedakan
melainkan dari pakaiannya, dimana tidak boleh bagi salah satunya
menggunakan pakaian yang lainnya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah
yang artinya :

“Semoga Allah melaknat wanita yang berpakaian laki-laki dan laki-laki yang berpakaian wanita.”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan hadits ini shohih menurut syarat Muslim).

Sungguh
suatu musibah pada zaman ini, dimana pakaian kaum wanita dan pria saat
ini tak dapat terbedakan. Sekarang kita lihat betapa banyak para wanita
muslimah yang tak berjilbab, mempertunjukkan aurat-aurat mereka,
bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang jahiliyah, kita lihat mereka
mudah sekali bertaklid dengan mode yang ngetrend di tengah mereka saat
ini, bahkan masyhur di tengah-tengah mereka pakaian di atas mata kaki,
bahkan hingga di pertengahan betis –wal‘iyyadzubiLlah-, yang
mana seharusnya ini merupakan sunnah yang wajib bagi lelaki, namun
merekalah yang menegakkannya sehingga celakalah dunia ini dengan
perilaku mereka.

Di lain fihak kaum lelaki dengan
bangganya mereka menjulurkan celana-celana mereka hingga di bawah mata
kaki, bahkan ada diantara mereka yang menyeret celananya sampai ke
tanah, mereka menganggap ini sebagai suatu hal yang biasa saja, atau
hanya trend biasa, celakanya lagi banyak para aktivis islam yang
melakukan demikian ini seolah-olah ini suatu hal yang sudah biasa dan
tidak berdosa, jikalau mereka mau mempergunakan akalnya yang didasari
kepada dalil syar’i niscaya mereka akan menyadari akan keharaman apa
yang mereka lakukan itu, yakni isbal (memanjangkan kain hingga di bawah
mata kaki).

Mari kita tilik hadits-hadits Rasulullah
berikut, dan kita tundukkan akal-akal kita pada syariat, janganlah
antum jadikan akal-akal dan perasaan-perasaan antum sebagai hakim dalam
masalah ini, jikalau antum meyakini islam itu agama yang syamil dan
sempurna, tak kurang satu apapun, yang mengatur seluruh aspek
kehidupan, maka mari kita telaah dengan hati yang lapang dan jiwa yang
terbuka dan meyakini bahwa seorang muslim jikalau ia diperintah oleh
Allah dan Rasul-Nya akan suatu hal maka wajiblah baginya menyatakan
sami’na wa atho’na tanpa ada rasa berat hati sedikitpun di dalam
hatinya, inilah bukti dan buah dari keimanan yang sebenarnya, Bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang artinya : “Apa-apa yang
ada di bawah mata kaki berupa sarung maka tempatnya adalah neraka.”
(HR. Bukhari dan Ahmad) hadits ini membuahkan faidah yakni apa-apa yang
ada di bawah mata kaki maka tempatnya adalah di neraka baik ia berupa
sarung, celana, gamis, maupun lain sebagainya, yang mana ia merupakan
pakaian yang berfungsi menutup aurat dari atas ke bawah, sebagaimana
dalam hadist Rasulullah : “Isbal berlaku pada sarung, gamis dan surban.
Siapa yang menurunkan pakaiannya sedikit saja karena sombong tidak akan
dilihat oleh Allah di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu
Majah dengan sanad shahih).

Adapun kaus kaki, sepatu
atau sejenisnya tidaklah termasuk pakaian yang jika menutupi mata kaki
pelakunya mendapatkan ancaman neraka, karena sepatu, kaus kaki atau
sejenisnya tidak dikatakan pakaian, namun ia dikatakan penutup kaki
yang tidak berfungsi sebagai pakaian penutup aurat tubuh dari atas ke
bawah, Wallahu a’lam.

Mungkin diantara antum ada yang
berpemahaman bahwa isbal diharamkan jika dilakukan hanya dengan
sombong, maka di sini kami ingin memberikan jawabannya sebagai berikut :

Jika
dikatakan bahwa, isbal itu haram jika dilakukan dengan sombong, dan
jika dilakukan dengan tidak sombong maka hukumnya tidak mengapa, maka
pendapat ini harus ditelaah ulang karena Rasullullah telah bersabda:
“Apa-apa yang ada di bawah mata kaki berupa sarung maka tempatnya
adalah neraka.” dengan lafadz ‘am/global tanpa adanya muqoyyad/pembatas
yang menerangkan kekhususan keharaman jika hanya dilakukan dengan
sombong. Adapun hadits yang lainnya yang diriwayatkan muttafaqun
‘alaihi yang artinya : “Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong, Allah takkan melihatnya di hari kiamat.” Para ulama’
menjelaskan bahwa isbal adalah sama saja haram baik dilakukan dengan
sombong maupun tidak dengan sombong, dengan alasan sebagai berikut :

Hadits
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah takkan
melihatnya di hari kiamat.” (Muttafaqun ‘alaihi) tidaklah membatasi
hadits “Apa-apa yang ada di bawah mata kaki berupa sarung maka
tempatnya adalah neraka.” (HR. Bukhari dan Ahmad), bahkan sebaliknya,
kedua hadits di atas saling menjelaskan, karena wa’id (ancaman) yang
dijelaskan bagi fa’il (pelakunya) berbeda, sehingga tetap Haram
hukumnya ber-Isbal baik dilakukan dengan tidak sombong maupun dengan
sombong. Adapun melakukan dengan kesombongan, maka ancamannya lebih
keras. Maka ketika kedua wa’id (ancaman) ini berbeda, dalil hadits
pertama tidak bisa membawa yang mutlak kepada pengecualian yang
ditunjukkan pada hadits kedua di atas, karena kaidah yang
memperbolehkan pengecualian dari yang mutlak adalah dengan syarat jika
kedua nash sama dari segi hukum. Jika seseorang melakukan isbal dengan
tidak merasa sombong maka tetap haram hukumnya dan ancamannya adalah
neraka, dan barangsiapa yang melakukannya dengan kesombongan maka
ancamannya lebih pedih lagi, yakni pertama ia tetap terancam dengan
neraka, kedua karena kesombongannya ia terancam Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak akan melihatnya pada hari kiamat.

Nabi
bersabda : “Jauhilah olehmu isbal, karena ia termasuk kesombongan.”
(HR. Abu Dawud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih). Dari hadits ini
Ulama’ beristinbat bahwa isbal itu merupakan salah satu bentuk
kesombongan walaupun seseorang itu melakukannya dengan sombong maupun
tidak, tetap nabi menyatakan bahwa isbal itu termasuk kesombongan yang
harus dijauhi. Maka dari sini nampak bahwa isbal itu termasuk
kesombongan yang nyata, karena :

Pertama, ia menolak perintah nabi untuk tidak berisbal

Kedua, ia melanggar perintahnya ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallam untuk menjauhi isbal

Ketiga, ia melakukan salah satu bentuk kesombongan dalam berpakaian

dan Keempat,
ia menyelisihi firman Allah yang artinya : “Dan Janganlah engkau
berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Allah tidak suka
kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.” Karena ia berpakaian
dengan ber-isbal sedangkan isbal itu menurut nabi sebagaimana hadits di
atas termasuk bentuk kesombongan.

Di dalam
sebuah riwayat yang diriwayatkan Imam Bukhari, tatkala Umar Bin
Khaththab Radhiallahu ‘anhu melihat seorang pemuda berjalan dalam
keadaan pakaiannya menyeret di tanah ia berkata kepadanya : “angkatlah
pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih takwa kepada Rabbmu
dan lebih suci bagi pakaianmu.” (Riwayat Bukhari). Dari atsar ini
nampaklah dengan jelas bahwa Umar bin Khaththab melihat akan keutamaan
dan kewajiban untuk tidak isbal dalam berpakaian. Jikalau isbal itu
tidak wajib niscaya Umar tidak akan memerintahkan pemuda tadi untuk
mengangkat pakaiannya, dan jikalau isbal tadi diharamkan hanya jika
dilakukan dengan kesombongan dari manakah Umar mengetahui bahwa pemuda
tadi melakukan isbal dengan kesombongan jika tidak dari dhahir
keadaannya yang menunjukkan bahwa isbal itu salah satu bentuk
kesombongan, sehingga beliau menasehati pemuda tadi dengan perkataan
bahwa tidak isbal itu adalah lebih takwa dan lebih suci bagi pakaian.

Adapun
ucapan nabi terhadap Abubakar tatkala beliau berkata : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya sarungku sering melorot kecuali kalau aku
benar-benar menjaganya” maka nabi menjawab : “Sesungguhnya engkau
tidaklah termasuk golongan yang melakukannya karena sombong.” (HR.
Muttafaq ‘alaihi). Apa Faidah dari Hadits ini ? Hadits ini menunjukkan
kewara’an Abubakar dalam memegang perintah Rasulullah, tatkala beliau
merasakan pakaiannya sering melorot sehingga menyebabkan pakaiannya
turun, maka beliau langsung mengangkatnya ke atas, dan hal ini
dilaporkan ke Nabi bahwa ia melakukannya bukan dengan sengaja, maka
Nabi mempersaksikan bahwa beliau (Abubakar) bukanlah orang-orang yang
melakukannya karena sombong, karena beliau (Abubakar) senantiasa
menjaga pakaiannya agar tidak turun dan menaikannya, sehingga apa yang
dilakukan Abubakar bukanlah kesombongan, inilah makna hadits ini yang
sebenarnya sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Bazz
dan Syaikh Albani Rahmatullah wasi’ah alahim. Adapun orang-orang yang
menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya isbal dengan tidak sombong
maka ia telah melakukan kesalahan yang besar, disebabkan karena
Abubakar senantiasa menjaganya agar tidak turun dan tidak membiarkan
begitu saja ketika pakaiannya turun sebagiamana orang yang sengaja
melakukan isbal.

Maka dari penjelasan di atas,
seharusnya kita membuka fikiran kita, membuka hati kita, bahwa inilah
sunnah Rasulullah yang harus kita tegakkan, yang harus kita amalkan,
karena tidaklah syariat itu diturunkan kecuali bagi kemaslahatan
makhluk itu sendiri walaupun mungkin akal-akal dan perasaan makhluk
tidak mampu mencernanya, walaupun orang-orang menganggap aneh terhadap
sunnah nabi dikarenakan kebodohan yang merebak dan meraja lela sehingga
manusia tidak mampu lagi melihat mana yang sunnah, mana yang bid’ah,
mana yang haq dan mana yang bathil, karena banyak manusia telah
terbutakan oleh kemaksiatan yang seolah-olah menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupannya, karena seringnya ia berinteraksi dengan
kemaksiatan dan kebatilan dan jauhnya ia dari ilmu, ia terperosok ke
dalam lubang kebodohan dan musibah menerpa kita bertubi-tubi.

Diantara hikmah kita disyariatkan untuk berpakaian di atas mata kaki adalah :
• Sebagai bentuk pengejewantahan syariat nabi dalam berpakaian yang masuk ke dalam amal ketho’atan.
• Sebagai bentuk pembeda bagi kaum laki-laki dengan wanita dimana wanita
disyariatkan menutup mata kakinya bahkan menambah sejengkal lagi
panjangnya hingga terseret di tanah (sebagaimana perintah nabi kepada
Ummu Salamah, bab pakaian wanita ini dapat dibaca di jilbab wanita
Muslimah karya Syaikh Albani atau kitab lainnya).
• Sebagai bentuk sikap yang mendekatkan diri kepada takwa dan tawadhu’.
• Lebih menjaga kesucian pakaian kita, karena tidak terseret di tanah.
(perkecualian bagi jilbab wanita Muslimah yang ada hadits dari
rasulullah tentang tambahan sejengkal dari mata kaki)
• Menghindarkan diri kita dari kesombongan yang menghantarkan kita kepada
siksa Allah di hari kiamat kelak yakni dengan ancaman neraka dan
berpalingnya Allah dari melihat kita.
• Menegakkan
syi’ar-syi’ar islam dan menunjukkan ciri khas ahlus sunnah wal jama’ah
di saat ahlus sunnah menjadi orang yang asing diantara manusia-manusia
lainnya.
• Dan masih banyak lagi lainnya.
Mengenai
hal ini banyak sekali dalil dan hujjah yang menunjukkan kewajiban
muslim untuk tidak berisbal. Namun kami cukupkan sampai di sini, semoga
bermanfaat.


5 Komentar

Syirik

Ziarah Kubur Wali = Syirik?

Banner Atas

Petaka demi petaka melanda, hati manusia pun luluh karenanya, aqidah dikorbankan, agama dilupakan, syariat hilang sedikit demi sedikit. Maka malapetaka apakah yang lebih dahsyat dibandingkan dengan malapetaka yang menimpa iman? Dialah kesyirikan. Bagaimana tidak, sedang Allah

ziarah kubur wali

telah berfirman,

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka; tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun”. (QS.Al-Maa’idah :72).

Adapun malapetaka ini, kebanyakan orang hanya mengetahuinya secara global saja. Adapun kesyirikan secara terperinci, kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Orang-orang hanya mengetahui bahwa syirik itu, ketika seseorang menduakan Allah dalam penciptaan; atau ketika seseorang menyembah patung-patung. Adapun menyembah orang sholeh, dan lainnya, dalam arti berdo’a, meminta pertolongan kepada orang sholeh atau wali-wali, memohon syafa’at, kesembuhan, jodoh, rejeki, dan lainnya kepada mereka, maka ini tidak dianggap syirik !! Ini tentunya keliru !! Syirik bukan terbatas pada penyembahan berhala. Tapi penyembahan segala sesuatu dari selain Allah, baik itu arca, nabi, malaikat, orang sholeh, pohon, kuburan, dan lainnya. Makhluk-makhluk yang disembah ini biasa kita istilahkan dengan “berhala”.

Mereka keliru dalam membatasi kesyirikan hanya khusus pada penyembahan arca-arca, karena mereka menyangka bahwa orang-orang musyrikin di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah kaum yang menyembah patung-patung saja, tanpa yang lainnya. Padahal jika membuka Kitabullah, dan kitab-kitab hadits, maka kita akan mendapat keterangan bahwa kaum musyrikin dahulu bukan hanya menyembah patung saja, bahkan ada yang menyembah kuburan, pohon, orang-orang sholeh. Silakan dengarkan penuturan seorang ulama Islam ketika menjelaskan jemis-jenis sembahan kaum musyrikin jahiliyyah:

Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan-hafizhahullah- berkata saat menjelaskan sembahan-sembahan kaum musyrikin, “Kata Lata -tanpa dobel huruf t -, adalah nama berhala di Tho’if .Dia berupa batu yang dipahat, yang dibangun sebuah rumah di atasnya. Padanya ada tirai-tirai yang menyamai ka’bah. Di sekelilingnya ada halaman, dan di mempunyai pelayan (penjaga). Orang-orang jahiliyah menyembahnya sebagai sekutu selain Allah -Subhanahu wa Ta’la-. Berhala ini milik kabilah Tsaqif dan kabilah-kabilah yang ada disekitar mereka. Mereka amat membanggakan berhala.

Sebagian qira’ah membaca firman Allah, dengan dobel huruf t sebagai isim fa’il (Latta) dari kata kerja latta-yaluttu. Dia (Latta) adalahseorang lelaki yang shalih yang biasa mengadon tepung untuk memberi makan jama’ah haji. Ketika dia meninggal, orang-orang pun membangun sebuah rumah di atas kuburannya, dan menutupinya dengan tirai-tirai. Akhirnya mereka menyembahnya sebagai sekutu selain Allah -Subhanahu wa Ta’la- . Inilah Latta ! Adapun Uzza, dia adalah pohon dari Sallam yang terletak di lembah Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Tho’if. Di sekitarnya terdapat bangunan, dan tirai-tirai. Berhala ini juga mempunyai pelayan-pelayan (penjaga-penjaga).Di pohon ini terdapat setan-setan yang berbicara kepada menusia. Orang-orang bodoh menyangka bahwa yang berbicara kepada mereka adalah pohon-pohon itu atau rumah-rumah yang mereka bangun. Padahal yang berbicara kepada mereka adalah setan-setan untuk menyesatkan mereka dari jalan Allah. Uzza ini adalah berhala milik suku Quraisy, penduduk mekah serta suku-suku yang ada di sekitarnya. Adapun Manaat,dia adalah batu besar yang terletak tak jauh di Gunung Qudaid yang terletak antara Mekah dan Madinah. Berhala ini adalah milik suku Khuza’ah, Aus, dan Khozroj. (Jika ingin haji), mereka berihram di sisinya, dan mereka menyembahnya sebagai sekutu bagi Allah”. [Coba lihat Syarh Al-Qowa’id Al-Ar-ba’ (hal. 31)]

Inilah tiga berhala yang merupakan berhala terbesarnya Bangsa arab. Maka penyembahan kepada arca, batu, orang sholeh dan pohon adalah sesuatu yang jelas kalau itu adalah kesyirikan. Tapi, sedikit yang menyadari bahwa menyembah orang-orang shalih yang telah meninggal juga adalah kesyirikan. Dialah berhala Latta bagi orang-orang Tsaqit dan kabilah-kabilah di sekitarnya.

Pembaca yang budiman, mungkin kita bertanya, “Bagaimanakah bentuk penyembahan mereka terhadap orang-orang shalih ini sehingga dikatakan sebagai suatu kesyirikan?” Perhatikanlah ucapan Syaikh Al-Fauzan di atas! Mereka menyembahnya bukan ketika orang shalih itu masih hidup tetapi setelah meninggalnya. Mereka bangun kuburannya, buatkan sebuah rumah di atasnya, dipasangi tirai/kelambu, dijaga oleh satu atau dua orang atau bahkan lebih. Kemudian orang-orang pun mendatanginya, menyampaikan hajat, berdo’a kepadanya atau minta dido’akan. Bukan kepada penjaga kuburan tersebut tetapi kepada orang shalih yang telah meninggal itu. Inilah keadaan mereka.

Allah mengabarkan perbuatan mereka dalam firman-Nya,

“Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. (QS. Az-Zumar : 3)

Kesyirikan semacam ini tidak hanya terjadi di zaman nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahkan jauh sebelumnya telah terjadi pada kaum Nuh -alaihis salam-. Allah berfirman saat mengisahkan perkataan mereka,

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (QS.Nuh :23 ).

Penafsir Ulung Al-Qur’an, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka telah meninggal, setan pun datang mewahyukan kepada kaum meraka untuk mendirikan patung-patung itu dengan nama orang-orang shalih, mereka pun melakukannya, tetapi orang-orang sholih itu belum disembah. Tatkala mereka meninggal dan ilmu telah dilupakan, maka patung-patung orang shalih itu pun disembah”. [HR. Al-Bukhariy dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an (4920)]

Demikianlah pelaku kesyirikan, saling mewarisi dari zaman ke zaman; bentuknya kadang beda, tapi hakikatnya sama. Jaman nabi Nuh, orang shalih yang didatangi adalah dalam patung-patungnya, sedangkan jaman Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang didatangi adalah kuburannya. Adapun jaman kita sekarang, maka setiap tempat berbeda. Kadang di tempat ini, yang didatangi, dan disembah adalah patung atau pohon. Tetapi di tempat yang lain adalah kuburan. Mereka meminta dan mengharap darinya.

Mereka menjadikan orang-orang shalih sebagai berhala yang disembah selain Allah dalam bentuk mendatangi patung atau kuburannya, berdo’a kepada mereka, menyampaikan hajat-hajat keseharian kepada mereka, mengharap dan takut kepadanya, bernazar dan berkurban di sisinya. Semua ini adalah kesyirikan !!

Semua ini adalah perbuatan setan yang hendak menyesatkan manusia . Padahal jika kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, kelak pada hari kiamat nanti, orang-orang shalih yang mereka sembah itu akan ditanya tentang penyembahan manusia kepadanya. Namun orang-orang shalih itu pun berlepas diri dari perbuatan mereka. Sebagai contoh, Nabi Isa –alaihis salam- dan ibunya yang dijadikan berhala oleh orang-orang nashrani. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia, “Jadikanlah Aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?”. Isa menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara-perkara ghaib”. (QS.Al-Maidah:116)

Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, “Ini juga merupakan perkara yang Allah bicarakan tentangnya kepada hamba dan Rasul-Nya, Isa bin Maryam -alaihis salam- seraya berfirman kepadanya pada hari kiamat di depam orang-orang yang menjadikannya, dan ibunya sebagai dua sembahan selan Allah, “Adakah kamu mengatakan kepada manusia, “Jadikanlah Aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?”. Ini merupakan ancaman bagi orang-orang Nasrani, celaan, dan kecaman kepada mereka di depan seluruh makhluk”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/164)]

Al-Allamah Abdur Rahman bin Ali Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata dalam tafsirnya, “Lafazh ayat ini berupa pertanyaan. Sedang maknanya adalah kecaman bagi orang yang mendakwakan ketuhanan Isa”. [Lihat Zadul Masir fi Ilm At-Tafsir (2/463)]

Selain menyembah orang sholeh, sebagian manusia menyembah malaikat. Ini juga merupakan kesyirikan dan pelakunya musyrik. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan (Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya Kemudian Allah berfirman kepada malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?”. Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka Telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS.Saba’ :40-41 ).

Allah -Ta’ala- juga berfirman,

“Dan (Tidak wajar pula bagi-Nya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?”. (QS. Ali Imran: 80 ).

Diantara bentuk kesyirikan, penyembahan matahari, rembulan, dan bintang-bintang. Allah -Ta’ala- berfirman,

” Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk”. (QS. An-Naml :24 ).

Allah -Ta’ala- juga berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah . (QS. Fushshilat :37 ).

Dalam ayat-ayat ini terdapat faedah bahwa kemusyrikan bukan hanya terbatas pada penyembahan arca sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang jahil, bahkan menyembah orang sholeh (baik ia malaikat, nabi atau wali) pohon, bebatuan dan lainnya, semuanya termasuk kesyirikan. Semua bentuk kesyirikan telah ada di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Olehnya, Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy An-Najdiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Qowa’id Al-Arba’ , “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- muncul di tengah manusia yang berbeda-beda dalam peribadatan mereka. Diantara mereka, ada yang mengibadahi malaikat, ada yang mengibadahi nab-nabi, orang sholeh, ada yang menyembah batu dan pohon; ada yang menyembah matahari dan rembulan”. [Lihat Al-Majmu’ Al-Mufid fi Naqd Al-Quburiyyah wa Nushroh At-Tauhid (hal.609)]